SEJAK zaman Belanda, keurupuek mulieng (emping melinjo) asal Kab.
Pidie sudah dikenal. Bukan saja di Aceh, tapi juga oleh masyarakat
provinsi lain. Dan selama puluhan tahun, pohon melinjo telah memberikan
kehidupan bagi ribuan masyaraka. Pidie pun dikenal dengan sebutan kota
keurupeuek mulieng.
Berdasarkan data yang diperoleh, masyarakat Pidie sangat banyak
mengandalkan hidup dari emping melinjo. Bahkan boleh dikatakan di
kabupaten ini, di samping beras, produksi andalannya adalah melinjo.
Kabupaten Pidie, tiap tahun, paling sedikit mengekspor 9-10 ton emping
melinjo ke Malaysia dan Singapura. Buah melinjo ditanam di tujuh
kecamatan sebagai sentra produksi dengan luas lahan 9.500 hektare. Yakni
Kec. Mutiara, Mutiara Timur, Sakti, Tiro Truseb, Titeue, Keumala dan
Kec. Pidie.
Di daerah ini terdapat 3.995 unit usaha emping melinjo dengan jumlah
pengrajin 8.000 orang lebih. Produksi emping di daerah ini 48.000 hingga
50.000 kg per tahun, atau rata-rata per bulannya 4.000 kg emping.
Selain di Kab. Pidie, emping melinjo juga dihasilkan oleh warga di Kab. Pidie Jaya (setelah dimekarkan).
Seiring kemajuan yang dicapai, selain masih digerakkan secara alami,
sebagian kecil sentra usaha emping melinjo di Kab. Pidie dan Pidie Jaya
perlahan mulai dikelola secara professional. Sedangkan ribuan home
industri lainnya tetap saja melakukan pengelolaan secara tradisional.
Data
yang diperoleh Waspada di Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi,
dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop dan UKM) Kabupaten Pidie,
sejauh ini baru ada lima usaha emping melinjo di daerah itu
yang telah berproduksi secara profesional. Tiga usaha diantaranya telah
tercatat pada Departemen Kesehatan RI sebagai pemilik hak paten
berlabel produksi. Industri ini telah menggunakan kemasan khusus dan
telah mengirim hasil produksinya hingga ke mancanegara. Hasil produksi per tahun pun bisa mencapai 42,4 ton dengan omset mencapai Rp6 miliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar